jump to navigation

Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Pasar Modern September 3, 2007

Posted by indra kh in business, culture, ekonomi, pasar, topics.
trackback

Sekitar dua dekade lampau jumlah supermarket atau hypermarket maupun mini market di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari. Di Bandung saja seingat saya keberadaan pasar modern waktu itu masih sangat jarang. Kalau pun ada paling satu dua, itupun hanya di pusat kota. Coba Anda bandingkan dengan sekarang. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan, tak jauh dari pemukiman kita pasti ada minimarket. Jumlahnya juga mungkin lebih dari satu. Jika akan berbelanja dalam skala besar, sebagian orang kini lebih cenderung mendatangi hypermarket ataupun pusat grosir. Selain tempatnya lebih nyaman, harganya bersaing, jenis barangnya pun sangat beragam.

pasar1.jpg

“Tawar menawar penjual dan pembeli di los ikan pasar tradisional (indrakh)”

Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Berbagai alasan mungkin akan dilontarkan orang jika ditanya:” Mengapa tidak memilih pasar tradisional?.” Dari mulai kondisi pasar yang becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Diantaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok.

Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.

Sudah banyak kios di pasar tradisional yang harus tutup karena sulit bersaing dengan pasar modern. Data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) pada tahun 2005 seperti dikutip website Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional harus tutup usaha setiap tahunnya. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah seiring kehadiran pasar modern yang kian marak. Kondisi semacam ini tentu sungguh memprihatinkan. Semoga saja pengalaman kota Bangkok, Thailand yang awalnya memiliki puluhan pasar tradisional, namun kini hanya tersisa dua pasar karena terdesak oleh kehadiran puluhan hypermarket tidak terjadi di Indonesia.

pasar2.jpg

“Salah satu sudut pasar Bambu Kuning, Lampung (indrakh)”

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaaan pasar modern. Sudah menjadi sifat konsumen dimana akan lebih senang memilih tempat yang lebih nyaman, barang lebih lengkap dan harga lebih murah, di mana hal tersebut bisa diakomodasi pasar modern.

***

Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Harus ada aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.

Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.

Semoga saja pasar tradisional masih bisa bertahan di tengah kepungan pasar modern. Apakah di antara Anda masih ada yang menyempatkan berbelanja ke pasar tradisional dalam setiap pekan atau bulannya?

Komentar»

1. almascatie - September 3, 2007

kebanyakan pasar tradisional bukan tidak bisa bertahan sih kayaknya tapi dihancurkan dengan sengaja 😦

@ almas: Ada kemungkinan juga, kang 😦

2. sandimuda - September 3, 2007

sip dech pak, ini tulisan sesuai dengan penghidupan keluarga alias ibu ku, sampai sekarang ibu masih menjemput rezeki di pasar-pasar tradisional, saya juga suka nganter, yach realita pasar tradisional masih ada yang mengunjungi kok pak, sya suka nganter ibu ke pasar di cicadas kalo jam 6 an pagi juga pasar cihapit,… walo pengunjungnya memang gak banyak, Alhamdullilah kata ibuku masih bisa untuk keperluan memasak and cukupi kebutuhan sehari-hari ,…. gtu ya….

@ sandimuda: yah saya prihatin aja sih, pak. Di Bandung timur saja sekarang coba hitung ada berapa hypermarket atau pun supermarket, belum lagi minimarket. Belum lagi yang siap bangun seperti di terusan Kircon, dan Antapani. Kasihan pedagang-pedagang kecil.

3. sandimuda - September 3, 2007

betul pak, aqu juga merasakan, sebab langsung bertemu dengan mereka para pedagang tradisional, walopun beberapa pasar tradisional direnovasi- tapi besar juga nebus jongkoknya?? entahlah siapa yang punya modal besar, itu yang menguasai pasar, ato gimana yach??? kadang aqu juga berpikir apa yang mempunyai kebijakan di kota ini telah memperhitungkan resiko dua kekuatan ekonomi ,…..yang berbeda ini???

4. Rully - September 3, 2007

wah euy, mang odong balanja wae. loba duitna euy. :mrgreen:

@ Rully: jalan-jalan mah teu perlu belanja, mun ka anu sering ka cafe eta justru anu loba duit :mrgreen:

5. gies - September 3, 2007

ironisnya lagi, kebiasaan berbelanja kita, di pasar tradisional yg notabene penjualnya mengambil untung lebih sedikit, kita menawar sampai semurah-murahnya, dan di super-hyper-market yang jelas-jelasnya harganya lebih mahal kita tidak pernah menawar harga!

@ gies: Betul juga tuh, apalagi ibu-ibu, biasanya nawarnya abis-abisan 😀

6. abahoryza - September 4, 2007

mungkin ini salah satu pemacu para penggiat pasar tradisional agar berinovasi … mari kita tungguuu

@ abahoryza: biasanya kalau terdesak orang Indonesia suka lebih kreatif, ya bah. Semoga.

7. Thamrin - September 5, 2007

Saya masih memilih pasar tradisional utuk membeli beberapa kebutuhan seperti beras, ikan, tomat, sayur, cabai, bawang, ikan asin, jengkol, petai, dan lain-lain, karena lebih murah dan bisa ditawar. Apalagi saat sayur baru tiba di malam hari. Kebetulan pasar tradisional yang ada di dekat rumah saya cukup bersih dan tak banyak copet.

Untuk kebutuhan lain seperti minyak goreng, susu bayi, pempers, juice, ice cream, biskuit, rokok, atau beberapa kebutuhan lain saya membelinya di super market.

Ini adalah pilihan. Saya sebagai konsumen tak pernah mempertentangkannya, yang penting kebutuhan saya terpenuhi dan bisa mendaparkan barang dengan murah dan cukup bermutu. Saya kan cuma konsumen, bukan pemilik pasar tradisonal maupun super market. Jika pedangang di pasar tradisional ingin tak ditinggalkan konsumen tentunya harus memberikan layanan yang baik. begitu pula sebaliknya.

Jika begini siapa yang untung? tentunya kita sebagai konsumen. 😀

@ Thamrin: yup, konsumen tentu memiliki kebebasan untuk berbelanja kemanapun. Pengaturan keseimbangan antara pasar tradisional dan modern inilah yang menjadi PR bagi pemerintah daerah/ pusat.

8. za - September 5, 2007

Wah topiknya bagus! Sayang aku jarang belanja. Waktu lagi di Jakarta, suka nemenin Ibu belanja ke pasar.

Eh fenomena mbok sayur gak ikut diangkat juga Mang Indra? Jadi mbok sayur itu merupakan perpanjangan tangan dari pasar tradisional. Mbok sayur belanja dari pasar tradisional, kemudian pergi “menjemput bola” dengan mendekati pelanggan.

@ za: ditunggu postingan tentang mbok sayurnya,zack 😀

9. kangguru - September 5, 2007

ku naonnya mun pasar tradisional sok kahuruan wae ???

@ kangguru: sok aya anu dudurukan meureun wak (pura-pura teu apal) 😦

10. peyek - September 5, 2007

padahal keberadaan pasar modern itu bukan parameter meningkatnya kesejahteraan masyarakat kita

@ peyek: betul banged cak

11. anggara - September 6, 2007

pasar modern yang dimaksud kang indra ini seperti giant dan carrefour yaa, kalau di BSD ada tuh pasar tradisional yang dikelola manajemen yang profesional, sehingga kesan pasar tradisional yang kucel pun hilang

@ anggara: Nah kalau semua pasar tradisional yang dikelola secara baik semacam di BSD tentu akan mampu bersaing. Meskipun aturan yang jelas antara keduanya tetap dibutuhkan tampaknya.

12. anggara - September 6, 2007

mestinya sih, aturannya sudah jelas. Misalnya begini kan ada yang namanya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTR) atau Rencana Tata Ruang Wilayah( RTRW). dan rencana itu sebenarnya di formalkan dalam bentuk perda. Tapi yang jadi masalah, kalau investor datang maka perda tentang RUTR/RTRW juga ikut berubah 🙂 . Kalau sedari awal yang namanya RUTR/RTRW diikuti secara konsisten, maka kita akan melihat ruang kota yang apik. Masalah besarnya adalah “korupsi” yang sudah akut, sehingga yang punya modal besar pun mampu mengubah perda yang katanya disusun oleh para “Wakil” rakyat itu

@ anggara: Iya pak, sepertinya RUTR/RTRW bukan berperan sebagai panduan penataan namun malah menjadi “alat penegasan” untuk memuluskan langkah ekspansi para investor, karena mungkin bisa diubah sesuai “pesanan”.

13. roffi - September 6, 2007

wah no comment nih.

Nu sering ka pasar mah istri saya. Tapi nya kahoyong mah pasar teh ulah awut²an teuing lah.

@ roffi: tah ayeuna mah gaduh PR kang roffi teh, nyaeta jalan-jalan ka pasar 😀

14. roisz - September 7, 2007

sering nganter sang ibunda ka pasar,…

tapi ”just waiting di lapangan parkir weh, atawa di lapak CD bajakan”

@ roisz: Nitip MP3 satu, om :mrgreen:

15. za - September 7, 2007

Lhoh, kan saya memberi ide ke Mang Indra. 😉

@ za: saya justru memberi peluang :mrgreen:

16. enggar - September 8, 2007

Kalau di Jakarta kadang masih ke pasar, nganter ibu. Ibu saya suka beli ayam yang langsung dapat dipotong di tempat, nggak suka beli di tukang sayur yang lewat. Mungkin karena lebih segar kali ya. Tapi saya nggak pernah ke pasar tradisional di bandung, nggak tau soalnya 🙂

@ enggar: cobain ke pasar tradisional di Bandung, mbak 🙂

17. Evy - September 10, 2007

klo kata anakku pasar traditional lebih cepat karena tidak perlu ngantri di kasir hehehe

@ Evy: yoii bu dokter, bisa nawar lagi yaa 😀

18. andri - September 11, 2007

ass wb
pak kabar baik
mat ramadhan ya, moga pasar tradisioanl ramai dikunjungi pembeli
http://sandimuda.wordpress.com/
blog ku baru ttg sepeda dg temen22 ITB keliling kota Bandung- plus potonya sabtu 8-Sept-2007- kemarn kasih komentar jika gk sibuk ya??

19. rahmad .J. - September 17, 2007

pasar tradisional bukan hanya sedar pasar biasa. pasar tradisional adalah warisan budaya yang sangat berharga di Indonesia. 10 atau 20 tahun lagi pasar tradisional akan menjadi tempat pemenuhan kebutuhan pokok yang sangat dirindukan dan antik….
Lestarikan pasar tradisional berarti kita melastarikan budaya dan silaturahmi (interaksi sosial yang sangat kuat, yang tidak dapat ditemukan di lingkungan pasar modern)…..

@ rahmad: setuju kang 🙂

20. arni - Oktober 23, 2007

mau pilih psar tradisional atow pasr modern itu kembali lagi ke masing2 orang, kalo dari sisi konsumen saya rasa ga ada yg dirugikan, tapi dari sisi penjual justru yg banyak dirugikan adlh pedagang di pasar tradisional, bahkan pemasok yg memasukkan brgnya ke hypermarket sering dikeluhkan dgn listing fee yg terlalu besar, saya setuju yg harus dibenahi adlh peraturannya, dan kondisi pasar tradisional sendiri, yg penting dari semuanya kan keamanan dan kenyamanan berbelanja.

21. topi caping - November 18, 2007

aduh lieur deh baca bahasa Sunda (no offence to Sundanese), asal ga liar aja, hehehe… Boleh ga saya minta foto-foto bergambar pasar tradisional, saya sih pengen promosi di kampus, pusing euy, ditanya melulu tentang teroris, lebih pusing lagi liat poster Malaysia, truly Asia.
Trend pasar di Indonesia sepertinya mengikuti trend pasar di seluruh dunia. Dulunya pasar tradisional, beralih ke supermarket nantinya buying online lewat situs seperti http://www.tokoindonesia.de/catalog/index.php?language=en. Saya sih setuju dengan pendapat Arni agar peraturan dibenahi. Lah wong disini yang notabene negara maju aja sunday market masih digemari, hehehe…

22. loe - Desember 18, 2007

gimana yah… rumah saya deket pasar tradisional.. dan emang jorok nya minta ampun.. salah mereka juga kali . ga bisa merawat kondisi pasar, akibatnya konsumen makin males belanja ke sana.. kalo sy yg belanja mending ke hypermarket ajah.. harga jelas, nyaman dll.. soal interaksi sama orang masih bisa kok.. sapa ajah tuh karyawan2 sampai kasirnya hipermarket..

Sejak pra -lahir manusia kan diciptakan untuk bersaing.. sprema berjuta-juta merebutkan satu indung telur..

jadi.. selama pasar tradiosional itu bisa memenuhi selera jaman… selera nilai2 agamis.. (kebersihan, jujur, ramah dll) saya yakin konsumen pun akan melirik kembali..

dan satu lagi.. jangan tergantung kpd PEMERINTAH.. kecuali kita bisa merubah pemerintahan nya menjadi yg lebih baik… caranya.. yaaa pilihlah wakil yg duduk di pemerintahan itu dgn orang-orang yg baik pula… jangan GOLPUT gituh..

23. cendana - Januari 15, 2008

yang jelas kami anak kos lebih suka belanja di pasar tradisional dari pada di mall, biarin aja bauk-bauk asal murah meriah dan barangnya juga lebih fresh karena langsung di bawa dari berastagi,jadi hidup pasar tradisional

24. ana - Januari 28, 2008

masasi
bukanya anak kos2san lebih pengen belanja di mall tinibang di pasar tradisional, jangan2 yari yg murah.
atu….. itutu2
nngak takut ada kuman, apa ngak mau ketika keluar dari pasar ketemu temen atau cowoknya. ^_^

25. awi - April 25, 2008

hadirnya pasar moderen tersebut hendaknya perlu pengawasan pemerintah agar kelanjutan pasar tradisional dapat terus jaklan,karena ada sisi positif dari keberadaan pasar tradisional tersebut.

26. LILI - Mei 30, 2008

hui

27. mardi - Juli 1, 2008

Kepentingan investor dalam pengembangan pasar tradisional itu nampak sekali tatkala terdapat pembangunan atau rehabilitasi pasar tradisional, dimana pilihan konstruksi bertingkat lebih dipaksakan. Padahal untuk kepentingan pedagang, konstruksi bertingkat itu kurang menguntungkan?. Pada awalnya tempat dasaran mungkin terjual habis, tetapi setelah sekian bulan, tempat dasaran itu akan ditinggalkan pedagang dengan dalil sepi pengunjung. Jika demikian yang terjadi, pedagang tidak mungkin akan dapat menepati angsuran sewa tempat dasaran, karena pendapatan yang diharapkan relatif menurun. Hal itu tentu akan mengancam tidak tepatnya (atau lebih kasar tidak mungkinnya) pengembalian investasi pemerintah untuk pembangunan pasar tradisional itu. Jadi pedagang ya rugi, pemerintah juga rugi, yang untuk tentu para investor … ya tho.

28. very po - Juli 23, 2008

saat berbenah diri untuk pasar traditional kitapun tidak bisa mencegah pasar modern karena nantinya kitapun akan masuk perdagangan bebas

29. hengky - Oktober 14, 2008

PASAR TRADISIONAL YG DIKEMAS MODERN!!! PERTAMA DI DEPOK!

Pasar tradisional, yang tertanam di benak kita, identik dengan suasana becek, kumuh, sesak, bau, tata letak lapak yang semrawut dan minimnya lahan parkir. Namun sekarang, buang jauh-jauh pemikiran itu. Soalnya sebentar lagi atau tepatnya awal november 2008 akan dibangun dan dilaunching ‘PASAR SEGAR DEPOK’ yaitu sebuah pasar tradisional yang dikemas modern dan profesional dari segi pengelolaan. Dengan rencana serah terima 12 bulan mendatang maka apabila ‘PASAR SEGAR DEPOK’ ini sudah jadi niscaya kita akan melihat sebuah pasar yang tertata baik, bersih dan segar, serta bisa dibilang bagaikan sebuah supermarket di pusat perbelanjaan ternama.

Lokasinya yang strategis yaitu di Jl. Tole Iskandar (setelah jembatan S. Ciliwung) diseberangnya perumahan Bella Casa dari arah Margonda, Tentunya merupakan sebuah tempat yang teramat strategis untuk berusaha ataupun sekedar berinvestasi. Dengan dibangunnya ‘PASAR SEGAR DEPOK’ ini tentunya merupakan sebuah keuntungan dan merupakan sebuah surga belanja bagi warga Depok pada umumnya dan warga Depok II pada khususnya.

Didalam ‘PASAR SEGAR DEPOK’ ini akan terdapat lapak. kios dan ruko yang didesign bersih dan rapi dan tetap mengutamakan keakraban pembeli dan penjual sebagaimana layaknya menjadi ciri khas pasar tradisional pada umumnya. Kami menamakan pasar tradisional itu pasar modern sebab konsep penataan dan pengelolaannya memang dilakukan secara modern dan profesional. Semua kios, lapak, dan toko pedagang ditata dengan tertib. Arsitektur bangunan pasar juga mutakhir. Nantinya pasar tradisional, di sini tidak becek dan tidak bau. Pedagang dan pembeli juga akan jadi nyaman

Pasar yang yg akan dibangun akan berdiri di atas tanah seluas 1,8 hektare dan dibangun 2 lantai terdiri dari kurang lebih 440 kios, 356 lapak dan 38 ruko dilengkapi dengan area parkir yg luas dan memadai. Area pasar tersebut juga dilengkapi fasilitas khusus seperti ATM center, toilet, dan mushala.

Mau Beli, Sewa Lapak, Kios dan Ruko di PASAR SEGAR DEPOK? Please STAY TUNED! Launching 01 November 2008

Untuk info lebih lanjut HUB :

HENGKY – 081314199029 / 94376817

PT BUMI SENTOSA AGUNG
Komplek Pertokoan Versailles Blok FC No 1, sektor 1.6
BSDCITY, Tangerang
Telp : 021-53164646
Fax : 021-53164647

Semoga Anda menjadi orang yang beruntung

30. nardi - Februari 14, 2009

pasar lokal ‘tradisional’, kebanyakan dalam pahaman orang, untuk mempertahankannya maka pasar diperlukan untuk mengubah dirinya mengikuti apa yang disajikan oleh pasar modern.
Menurut saya pendapat seperti ini, perlu diteliti lebih jauh lagi, karena berpotensi untuk mengubur apa yang sudah ada dan berlaku dalam pasar lokal.
Dalam beberapa pasar, kehidupan tidak hanya terjadi seara ekonomi, tapi meliputi beberapa hal, termasuk sifat kekeluargaan yang ada di dalamnya….

31. faiq - Maret 2, 2009

tawar-menawar, ah di situlah keunikannya. tapi, saya suka merasa kemahalan, setelah membeli sesuatu di sana.

32. nardi - Maret 17, 2009

emang tuh pemerintah gak beres ngurusin rakytanya.
mau berbagi pengalaman tentang pasar tradisional, silahkan kunjungi di desaku.blogdetik.com

33. Amandus Ronald - Mei 2, 2009

maju terus pasar tradisional

mari kita peduli dan berbelanja di pasar tradisional agar ikut serta pula memmbantu pedagang kecil untuk bertahan

34. Mukhlis - Juni 7, 2009

Pemerintah sudah sewajarnya memperhatikan keberadaan pasar – pasar traditional,terutama apabila pasar tersebut sudah habis hak pakainya dan akan direnovasi/dibangun kembali sebaiknya benar -benar dibicarakan dengan unsur – unsur terkait,perwakilan pedagang,koperasipedagang pasar dan pemerintaH/PD Pasar/Dinas pasar setempat agar tidak ada lagi Developer/Swasta yang mengail diaIR KERUH dengan bekerjasama dengan unsur pemerintah sehingga mengakibatkan naiknya harga tebus atau adanya penambahan jumlah kios lebih dari 20 % dari dari Kios Existing.

35. Panji - November 3, 2009

dukung terus pasar tradisional

36. teguh - April 27, 2010

Foto2 di pasar tradisional kren lho….. suasananya asik… ahahh

37. antondewantoro - Mei 4, 2010

merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur….hmmm bagus juga.

Tapi saya sendiri lebih suka ke pasar tradisional, dengan uang 50 ribu saya bisa belanja buat seminggu penuh, plus makanan kecil, dan potong rambut. Di mal perlu setidaknya 200 ribu untuk belanja seminggu. Di samping itu barang2 di pasar tradisional terutama sayuran dan tahu-tempe biasanya jauh lebih segar dari Giant/Carefour. Untung saya tidak pernah bermasalah dengan pasar yang gerah dan becek.

Masalahanya adalah pasar tradisional bukanya kebanyakan pagi, siang atau sore dagangan sudah habis. Sementara saya dan istri sering pulang kantor malam dan yang buka hanya hypermarket.

Saya ingin mengulas pasar2 yg ada di jakarta biar para pembaca tertarik juga belanja di pasar tradisional tapi lupa melulu

38. dialthespider - Juni 2, 2010

pasar tradisional merupakan salah satu kearifan lokal yang masih kita miliki….
alangkah ironisnya apabila juga harus terpingggirkan dan hilang termakan waktu

coba aja pemerintah lebih perhatian kepadanya…??!!!!!

39. Mas Boy - Agustus 4, 2010

Sudah menjadi perhatian pemerintah kok pemberdayaan pasar tradisional.. telah diuapayakan merevitalisasi pasar2 tradisional yang berada di desa/kecamatan diseluruh indonesia sehingga nantinya akan menghilangkan kesan kumuh, bau dan becek.. tp kl mengandalkan kemampuan APBN tentunya sangat terbatas. kue anggaran yg terbatas harus dibagi lebih 400 kab/kota.

Partisipasi Pemerintah di daerah juga sangat diharapkan baik melalui penyediaan APBD maupun kerjasama dengan investor.. kl ada kesempatan melihat pasar agribis babat lamongan pasti semua orang yang melihat akan terperangah.. pasar yg dibiayai APBN, APBD dan swasta ini menggambarkan suatu pasar percontohan modern… kluster pembagian los basah dan kering, pasar induk buah2an, mesjid besar dan bersih, toilet layaknya hotel, parkir luas, pusat jajan makanan tradisional, dan oleh2 khas jawa tengah. disaat para ibu berbelanja para suami bisa menemani anak2 bermain di area bermain, bahkan bagi yg hobi bernyanyi telah disediakan tempat untuk karaoke.

Sayangnya sampai saat ini pasar masih dalam tahap penyempurnaan… semoga dalam waktu dekat ini menjelang puasa segera beroperasi. dan banyak lg pasar bersih modern spt Puspa Agro Sidoarjo, Pasar Modern BSD,dll. .

Satu lagi nih… pasar tradisonal yang dibangun/direvitalisasi melalui DANA APBN diutamakan peruntukannya kepada pedagang lama yng lebih dulu ada dan tidak boleh diperjualbelikan, oleh pengelola hanya dikenakan retribusi daerah..

Pemerintah memiliki perhatian yg sangat besar kepada pasar tradisonal mengingat manfaat yang dihasilkan dari pembangunan pasar tradisional sangat besar kepada perekonomian daerah, baik melalui penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga bahan pokok, pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat..

Hidup pasar tradisional !!!!

40. Mas Boy - Agustus 4, 2010

ada lg yg kelupaan nih.. penataan dan pembinaan pasar tradisonal, pusat perbelanjaan dan toko modern telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 dan Peraaturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/12/2008. disitu diatur mengenai lokasi pendirian pasar tradisional , pusat perbelanjaan dan toko modern harus mengacu pada RTRW Kab/Kota dan RDTR Kab/Kota termasuk peraturan zonasinya…. jadi kewenangan memberikan izin pembangunannya ada di pemda setempat..jadi kl di tempat kalian2 banyak dibangun pusat perbelanjaan modern… tanyakan saja pada hati nurani kalian pada waktu PILKADA bener gak milih Bupati/Walikota.

41. Asad Babil - April 15, 2011

Pak Walikota, Perda No. 2/2009 kok mengacu ke PP 112/2007, semestinya kan Perpres 112/2007. PP dan Perpres itu beda lho, setahu saya …

Kedua, kenapa tidak mengacu ke Permendag 53/M-DAG/PER/12/2008? Perda ini terbit 2009, berarti mesti mengacu juga ke Permendag ini (terbit 2008), yg mana permendag ini adalah turunan dari Perpres di atas. Apakah begitu seharusnya?

Apakah krn tdk mengacu ke permendag tsb, sehingga banyak pasal2 di dalam perda ini yg mirip dg permendag ini? Setahu saya Perpres tsb dipertajam dengan Permendag, barulah kemudian dipertajam sesuai sikon daerah oleh Perda2 kota/kab. Bukankah begitu?

Mohon tanggapan.

Asad Babil
Pemerhati Indonesia

42. Ahmad Makmun Rosyid - April 21, 2011

ya memang benar adanya sekedar mengingatkan bahwa pasar tradisional sekarang sedang terpuruk dengan adanya pasar modern “Hyper” apakah ini memang ada indikasi yang mengarah ke arah pemberangusan pasar tradisional secara perlahan? Inilah yang sebenar-benarnya ekonomi kerakyatan yang nyata yang terjadi di pasar tradisional!!! Hai Pemerintah Marilah berpikir bersama-sama bagaimana caranya memajukan pasar tradisional ini, jangan tergiur oleh janji-janji yang dibawa oleh segelintir orang pemegang saham pasar modern dalam bentuk biaya perijinan, jangan hanya menguntungkan beberapa orang saja apalagi keuntungan itu dibawa ke luar negeri, bagaimana nasib jutaan pedagang?

43. Pandia Gelora - Mei 23, 2011

Sepertinya Peerintah lebih berpihak kepada para Investor dari pada masyarakat kecil yang berjualan di Pasar raddisional…….


Tinggalkan Balasan ke Asad Babil Batalkan balasan